Home »
Dzakair Muhammadiyah »
Dzakhair Muhammadiyah: Seputar Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Dzakhair Muhammadiyah: Seputar Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Dapatkan beragam kitab-kitab Karangan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani di website www.kitababuya.com
MuhibbinAbuya.Com - Dzakhair Muhammadiyah: Seputar Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam - Pembahasan Dzakhair Muhammadiyah karya Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani. sampai pada Seputar Kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga juru tulis Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut terjemahannya :
Keajaiban Lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Abu Nuaim meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra. Ia berkata, “Termasuk di antara pertanda Aminah mengandung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwasanya setiap ternak milik orang-orang Quraisy pada malam itu bisa berbicara dan mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah dikandung, demi Tuhan Ka’bah. Dia adalah pemimpin dunia dan pelita penghuninya.” Dan tidak tersisa ranjang raja-raja dunia kecuali menjadi terbalik. Binatang-binatang timur sama lari kepada binatang-binatang barat membawa berita gembira. Demikian pula penghuni laut sama membawa berita gembira antara satu dengan lainnya. Di setiap bulan sepanjang beliau berada dalam kandungan, ada seruan di bumi dan di langit, “Bergembiralah. Sungguh telah tiba waktunya kemunculan Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam yang diberkahi.” Dan seterusnya. Saya mengatakan, “Kisah ini dituturkan oleh al-Hafidz al-Asqalani. Ia berkata, “Sanad kisah ini lemah.”
Keajaiban Masa Tumbuh Kembang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, ash-Shabuni dalam kitab al-Miatain, al-Khatib dan Ibnu Asakir masing-masing dalam kitab Tarikhnya, Ibnu Tagarbark as-Sayyaq dalam kitab an-Nuthqu al-Mafhum, dari sahabat Abbas bin Abdul Mutthalib. Katanya, “Aku berkata, “Ya Rasulullah, tanda-tanda kenabian engkau mendorong aku masuk pada agama engkau. Aku melihat engkau dalam ayunan ibu tampak berdialog (munaghah) dengan bulan. Engkau menunjuk bulan dengan jari engkau. Begitu engkau tunjuk, bulan itu menjadi miring.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku dahulu berbicara dengan bulan dan bulan berbicara dengan aku. Ia mengalihkan aku dari menangis. Aku mendengar suara berdebuk bulan ketika bersujud di bawah Arasy.” Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Ibrahim al-Jili sendirian, sedang ia perawi yang majhul (tidak dikenal).” Ash-Shabuni berkata, “Ini hadits yang jalur sanad dan matannya gharib (asing), namun terkait dengan pembahasan mukjizat, hadits ini adalah hasan.” Kata “al-munaghah” maknanya adalah berdialog. “Qad naghat al-ummu shabiyyaha” berarti ibu itu telah berlaku lembut pada bayinya dan menyibukkan bayi itu dengan pembicaraan dan permainan. Di dalam kitab Fathul Bari dari kitab sirah al-Waqidi disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berbicara di masa-masa awal beliau dilahirkan. Ibnu Sab’in dalam al-Khashaish menuturkan, “Pada masa berada dalam ayunan ibunda, beliau bergerak-gerik dengan gerak-geriknya malaikat.”
Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Halimah menceritakan bahwa pada saat disapih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mampu berbicara seraya mengucapkan,
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا ، وَالْحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْرًا ، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
Allah Maha Besar sebesar-besarnya. Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya. Maha Suci Allah di setiap pagi dan sore.
Lalu ketika tumbuh dan berkembang, beliau keluar kemudian melihat anak-anak kecil sama bermain, maka beliau menjauhi mereka.” Dan seterusnya. Demikian diceritakan dalam kitab al-Mawahib.
Keajaiban Hari Lahir yang Mulia
Di antara keajaiban yang terjadi pada hari kelahiran beliau adalah cerita yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan Abu Nuaim dari Hibban bin Tsabit. Katanya, “Sesungguhnya aku (saat itu) anak kecil berusia 7 atau 8 tahun. Aku memahami apa ayang aku lihat dan aku dengar. Suatu pagi seorang Yahudi tiba-tia menjerit, “Wahai kalangan Yahudi!” Orang-orang Yahudi lalu berkumkul menghampirinya. Dan aku mendengar. Mereka berkata, “Celaka kamu. Ada apa denganmu?!” Orang Yahudi itu berkata, “Bintangnya Ahmad telah terbit. Ia telah dilahirkan pada malam ini.”
Aisyah menceritakan, “Dulu ada Yahudi tinggal di Makkah. Pada saat malam kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata, “Wahai golongan kaum Quraisy, apakah pada malam ini ada bayi lahir di antara kalian?” “Tidak tahu,” jawab mereka. Ia berkata, “Lihatlah, karena sesungguhnya pada malam ini telah dilahirkan nabi ummat ini. Di antara dua pundaknya ada alamat.” Orang Yahudi itu bersama dengan mereka lalu berangkat kepada ibunda beliau. Sang ibu lalu mengeluarkan (menunjukkan) beliau kepada mereka. Tatkala si Yahudi melihat alamat kenabian, ia jatuh pingsan. Ia berkata, “Telah lenyaplah kenabian dari Bani Israil. Wahai golongan kaum Quraisy, perhatikanlah, demi Allah, Allah akan memberikan pengaruh kepada kalian yang beritanya akan merambah bumi timur dan barat.” Hadits ini diceritakan oleh Ya’qub bin Sufyan dengan jalur sanad yang hasan, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Demikian disebutkan dalam kitab al-Mawahib halaman 23.
Lailatul Maulid dan Lailatul Qadar
Ada perselisihan pendapat mengenai waktu kelahiran beliau. Al-Hafidz al-Qasthalani mengatakan, “Pendapat yang shahih adalah kelahiran beliau terjadi pada siang hari. Dan ada yang mengatakan malam hari. Jika kita mengatakan bahwa beliau lahir pada malam hari, maka manakah di antara keduanya yang lebih afdol, Lailatul Qadar ataukah Lailatul Maulid (malam kelahiran beliau)?
Dijawab bahwa malam kelahiran beliau lebih utama daripada Lailatul Qadar karena tiga faktor. Pertama, Lailatul Maulid adalah malam kemunculan beliau, sementara Lailatul Qadar adalah pemberian untuk beliau. Dan apa yang menjadi mulia disebabkan zat orang yang dimuliakan karenanya, adalah lebih mulia, dibanding dengan apa yang menjadi mulia disebabkan apa yang diberikan kepadanya. Tidak ada pertentangan dalam hal ini. Maka, dalam tataran ini, Lailatul Maulid lebih utama.
Kedua, Lailatul Qadar dimuliakan dengan turunnya para malaikat di dalamnya, sedang Lailatul Maulid dimuliakan dengan kemunculan beliau di dalamnya. Dan sosok yang karenanya Lailatul Maulid menjadi mulia, adalah lebih afdol, daripada sosok-sosok yang karena mereka Lailatul Qadar menjadi mulia, menurut pandangan yang lebih shahih lagi memuaskan. Maka, Lailatul Maulid lebih afdol.
Ketiga, di dalam Lailatul Qadar terdapat anugerah keutamaan bagi ummat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang di dalam Lailatul Maulid terdapat anugerah keutamaan untuk seluruh makhluk yang ada. Beliau diutus oleh Allah azza wajalla sebagai rahmat bagi alam semesta. Nikmat ini meliputi atas seluruh makhluk. Kemanfaatan Lailatul Maulid lebih luas. Karena itu, ia lebih utama. Wahai bulan, alangkah mulianya dan alangkah meruah keagungannya.
Malam-malam bulan itu seakan-akan adalah kalung-kalung berlian. Wahai wajah, alangkah mulianya bayi yang terlahir. Maha Suci Dzat yang menjadikan hari lahir beliau sebagai musim semi bagi hati dan keelokannya sebagai keindahan.
يَقُوْلُ لَنَا لِسَانُ الْحَالِ مِنْهُ = وَقَوْلُ الْحَقِّ يَعْذُبُ لِلسَّمِيْعِ
فَوَجْهِي وَالزَّمَانُ وَشَهْرُ وَضْعِي = رَبِيْعٌ فِى رَبِيْعٍ فِى رَبِيْعٍ
Realita berkata kepada kita tentang beliau. Dan ucapan yang benar terasa segar dan manis bagi pendengarnya.
Wajahku, zaman, dan bulan kelahiranku adalah Rabi’ (musim semi), di dalam Rabi’ (Rabiul Awal), di dalam Rabi’ (Rabiul Awal).
Demikian diterangkan dalam kitab al-Mawahib halaman 27.
Misteri Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Menurut pendapat yang shahih, kelahiran beliau terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram, Rajab, Ramadhan, atau bulan-bulan mulia lainnya, karena sesungguhnya beliau tidak menjadi mulia dikarenakan zaman, justeru zaman menjadi mulia disebabkan beliau. Demikian pula tempat. Seandainya beliau dilahirkan pada satu bulan di bulan-bulan yang mulia tersebut niscaya disangka bahwa beliau menjadi mulia karena bulan-bulan itu. Allah ta’ala lalu menjadikan kelahiran beliau pada bulan yang lain, agar tampaklah perhatian dan pemuliaan-Nya terhadap beliau. Jikalau hari Jum’at, yang Nabi Adam terlahir di dalamnya, diistimewakan dengan satu waktu yang seorang hamba muslim tidak menjumpainya seraya memohon kebaikan kepada Allah di dalamnya kecuali Allah memenuhi permohonannya, maka apa pandanganmu terhadap waktu yang di dalamnya penghulu para nabi dilahirkan. Dan pada hari Senin, hari kelahiran beliau, Allah ta’ala tidak membuat beban-beban hukum ibadah, seperti halnya Dia membuat beban-beban hukum ibadah pada hari Jum’at, di mana Nabi Adam diciptakan di dalamnya, seperti shalat Jum’at, khutbah, dan berbagai ibadah lainnya, dalam rangka memuliakan Nabi-Nya, dengan cara meringankan beban pada umat beliau, sebagai bentuk perhatian akan keberadaan beliau. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Dan Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta. (Q.S. al-Anbiya’: 107)
Dan termasuk bagian dari rahmat itu adalah tidak adanya beban-beban hukum ibadah.
Seputar Kisah Gharaniq
Intisari kisah ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca rangkaian ayat,
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى
Demi bintang ketika terbenam. (Q.S. an-Najm: 1)
Ketika sampai pada ayat,
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى ، وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? (Q.S. an-Najm: 19-20), setan memasukkan godaan di dalam keinginan beliau, yakni di dalam tilawah beliau,
تِلْكَ الْغَرَانِيْقُ الْعُلاَ ، وَإِنَّ شَفَاعَتَهُنَّ لَتُرْتَجَى
Itulah dewa-dewa agung, dan sesungguhnya syafaat mereka amat diharapkan.
Tatkala mengakhiri surat, beliau sujud dan turut bersujud pula orang-orang musyrik, karena mereka menyangkabeliau menuturkan tuhan-tuhan mereka secara baik. Lalu tersebarlah berita itu di masyarakat, setan juga turut memprovokasi, sehingga kabar itu sampai di negeri Habasyah di mana di situ adalah kaum muslimin, yakni Usman bin Madz’un dan kawan-kawan. Mereka berbicara bahwa penduduk Makkah semuanya telah memeluk Islam dan shalat bersama beliau. Kaum muslimin bisa hidup aman di Makkah. Mereka lalu bergegas pulang dari Habasyah.
Gharaniq makna asalnya adalah jenis jantan dari burung air. Bentuk tunggalnya adalah ‘ghurnuq’ dan ‘ghirniq’. Burung itu dinamakan ‘ghurnuq’ karena putih. Ada yang mengatakan ‘ghurnuq’ adalah Kurki (burung jenjang). ‘Ghurnuq’ juga adalah pemuda yang putih nan mulus. Mereka (orang-orang kafir Quraisy) menganggap berhala-berhala mendekatkan mereka kepada Allah sekaligus bisa memberi pertolongan pada mereka. Berhala-berhala itu diserupakan dengan burung yang terbang tinggi di atas.
Ketika orang-orang musyrik melihat kenyataannya tidak seperti mereka duga, mereka kembali pada keadaannya semula bahkan lebih keras lagi.
Qadli Iyadh rahimahullah dalam asy-Syifa telah membicarakan kisah ini dan menganggap lemah dalilnya secara cukup dan memuaskan. Imam Fakhruddin ar-Razi, dari ringkasan tafsirnya yang aku pahami, mengatakan, “Kisah ini batil dan palsu, tidak diperkenankan menceritakannya. Allah swt. berfirman,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. an-Najm: 3-4)
Allah swt. juga berfirman,
سَنُقْرِئُكَ فَلاَ تَنْسَى
Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa. (Q.S. al-A’la: 6)
Imam Baihaqi mengatakan, “Kisah ini tidak meyakinkan dari segi periwayatan.” Imam Baihaqi kemudian tampak menuturkan bahwa perawi-perawi kisah ini sama dicela. Dan lagi, Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat an-Najm dan bersujud dan ikut bersujud pula orang-orang musyrik, manusia, dan jin. Dan di dalamnya tidak ada kisah tentang Gharaniq. Bahkan, hadits ini diriwayatkan dari banyak jalur periwayatan, dan di dalamnya sama sekali tidak disebutkan mengenai kisah Gharaniq. Tidak diragukan bahwa orang yang memperkenankan Rasul terbesar boleh mengagungkan berhala, maka sungguh ia telah kufur. Jika hal itu kita perkenankan, maka hilanglah perlindungan terhadap hukum syara’ yang dibawanya. Kita akan memperkenankan setiap hukum dan syara’ ada seperti itu. Dan tidak sahlah firman Allah swt.,
يَاأَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. (Q.S. al-Maidah: 67)
Karena sesungguhnya, tidak ada perbedaan antara praktek mengurangi wahyu dan antara menambah wahyu. Maka, dengan alasan-alasan ini, secara garis besar kita mengetahui bahwa kisah ini adalah palsu. Konon ada yang mengatakan bahwa kisah ini dipalsukan oleh kaum zindiq, sementara kisah itu tidak berdasar sama sekali.” Demikian uraian Qadli Iyadh.
Aku berkata: “Al-Hafidz al-Asqalani mengemukakan suatu pembahasan dalam tema ini yang tidak ada faedah di dalamnya. Dan apa yang kami nukil dalam masalah ini dialah yang benar. Insya’allah ta’ala.”
Bersambung.
sumber: www.shofwatuna.org