Ushulut Tarbiyah an Nabawiyah |
Tingkatan Sahabat dalam Intensitas Keilmuan
oleh | Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki
diterjemahkan oleh | K.H. M. Ihya’ Ulumiddin
Intensitas para sahabat dalam menghadiri majelis-majelis keilmuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah sama. Namun, ada di antara mereka yang mulazamah (selalu menyertai) beliau. Mereka tidak pernah tertinggal, baik sewaktu beliau di rumah maupun bepergian, seperti Abu Bakar ra. dan Abu Hurairah ra. Ada pula di antara sahabat yang pada waktu-waktu tertentu tertinggal karena aktivitas kerjanya mencari bekal penghidupan, seperti bercocok tanam, berniaga, atau semacamnya, atau karena wajib militer (sariyah), dan seterusnya. Walaupun tertinggal, para sahabat tetap bersemangat mengejar pelajaran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang lepas dari mereka. Mereka bertanya dan meminta penjelasan.
Para sahabat menempuh perjalanan jauh untuk menuju kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mempunyai problem atau hal-hal yang sulit terpecahkan. Mereka menuju Madinah untuk mendapatkan status hukum Allah subhana wata’ala atas kasus atau problem yang mereka alami. Kadangkala perjalanan itu harus ditempuh sekian hari dan sekian malam.
Buah dari perbedaan intensitas bergaul dan menerima ilmu ini adalah adanya perbedaan tingkatan pada sahabat di dalam ilmu antara satu dengan lainnya. Ada di antara mereka dikategorikan al-muktsirun, yaitu para sahabat yang meriwayatkan lebih dari seribu hadits, seperti Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Jabir, dan Aisyah. Semoga Allah swt meridhai mereka. Di dalam gubahan syair dikatakan,
“Al-Muktsirun di dalam periwayatan hadits ialah Abu Hurairah, disusul Ibnu Umar, Jabir, lautan riwayat (Ibnu Abbas), al-Khudri, Anas, dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Aisyah).”
Ada pula sahabat yang dikategorikan al-muftun (para sahabat yang diberi otoritas berfatwa), antara lain Abdullah bin Abbas, Umar ibnul Khaththab, Ibnu Umar, Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan Ali bin Abi Thalib. (Lihat kitab Al-Manhal)
Di antara mereka terdapat qurra’ yang mengkondifikasikan Al-Quran dan ditransmisikan dari mereka bentuk dan cara qira’ah, seperti khilafah empat, Thalhah, Hudzaifah, Salim (hamba sahaya yang dimerdekakan Abu Hudzifah, Aisyah, Hafshah, dan golongan sahabat Muhajirin lainnya. Dari kalangan sahabat Anshor seperi Ubay bin Kaab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abud Darda’. Semoga keridhaan Alloh subhana wata’ala meliputi mereka.
Para sahabat senantiasa memberikan perhatian penuh terhadap ilmu, hafalan, dan pengulangan pelajaran yang disampaikan kepada mereka. Abu Said al-Khudri berkata, “Sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika duduk mereka bercakap-cakap. Materi percakapan merea adalah fiqh. Bila tidak mereka menyuruh seseorang untuk membaca surah Al-Quran.” (HR. Ibnu Saad di kitab Thabaqat)
Para sahabat juga memberian perhatian terhadap pendidikan di kalangan wanita, golongan budak perempuan, dan tetangga-tetangga mereka. Mereka berkonsentrasi kepada ilmu seluruhnya, baik yang status kerja maupun tidak. Pedagang dikalangan sahabat berstatus pelajar dan pelajar di antara mereka berstatus pedagang. Mereka serius didalam menghafal dan mengkaji apa yang didengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bila mendengar ilmu yang belum dipahami, mereka minta diulang sehingga mereka benar-benar memahaminya. Anas bin Malik berkata,
“Sesungguhnya fulan mengulangi pelajaran, kemudian disusul fulan yang lain, maka kami berdiri seakan-akan pelajaran sepertinya ditanamkan pada lubuk hati kami.” (Lihat Shahih al-Bukhari bab; Barangsiapa mendengar sesuatu lalu mengulanginya)
Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak datang, para sahabat aktif mengulang hadis di antara mereka (muraja’ah). Anas berkata, “Beliau menceritakan sebuah hadis kepada kami, lalu beliau masuk rumah untuk memenuhi hajat, maka fulan ini mengulang pelajaran, disusul fulan yang lainnya, kemudian kami berdiri seakan-akan hadis tersebut ditancapkan pada hati nurani kami.” (HR. Abu Ya’la)
Para sahabat sering tampak mengambil ilmu dari sebagian sahabat yang lain. Sahabat meriwayatkan dari sahabat yang lainnya. Di dalam kitab-kitab hadis disebutkan banyak sekali satu hadis berkumpul di dalamnya empat orang sahabat. Sebagian mereka meriwayatkan dari sebagian yang lain.
Sementara itu, kepada guru yang diambil ilmunya mereka menjaga tata krama. Ibnu Abbas memiliki sekian sikap yang membuktikan ini. Dari sahabat Ali karamallahu wajhahu terdapat wasiat simpel yang lengkap dan penting tentang tata krama yang diriwayatkan oleh al-Khatib di kitab Jami, yaitu, “Di antara hak yang harus kamu tunaikan kepada orang alim ialah memberikan salam penghormatan kepada orang banyak dan kepada orang alim secara khusus, duduk di depannya, tidak memberi isyarat di sisinya dengan tangan, tidak sekali-sekali memberi isyarat dengan mata, tidak sekali-kali mengatakan: ‘kata fulan’ yang berseberangan dengan ucapannya, tidak mendahului di tempat duduknya, tidak memegangi bajunya, tidak terus mendesak ketika bosan dan tidak jemu bergaul lama dengannya. Sesungguhnya orang alim laksana pohon kurma. Kamu melihat kapan jatuh sesuatu dari pohon itu kepadamu. Orang beriman yang alim itu lebih agung pahalanya dibanding orang yang berpuasa lagi berperang di jalan Alloh. Jika orang alim mati, terjadilah keretakan tempat di dalam Islam yang tidak bisa ditambal dengan apa pun sampai hari kiamat.”
Generasi sahabat mengakui hak-hak orang yang lebih tua dalam ilmu dan usianya. Namun, pengakuan terhadap hak orang lebih tua ini tidak menjadi penghalang mereka berbeda pendapat . sesuai dengan hasil ijtihadnya. Ibnu Abbas pernah berbeda pendapat dengan Umar, Ali, dan Zaid bin Tsabit.
Mereka mengambil ilmu dari ahli (pakar, spesialis)nya betapa pun tingkatannya, seperti periwayatan mereka dari tabi’in. Al-Hafizh Al-Iraqi mengkondifikasikan hal ini dalam satu bagian kitab, dan menyebutan di antara mereka ialah Anas bin Malik.
Mereka juga mengambil ilmu dari ahlinya bagaimana latar belakang atau keturunannya, seperti periwayatan mereka dari mawali (golongan hamba sahaya yang dimerdekakan). Sahabat Abu Bakar, Umar, Usamah, dan Ibnu Umar pernah meriwayatkan dari Bilal. (Lihat biografi Bilal dalam kitab al-Ishabah).
Mereka bersegera kembali kepada kebenaran jika kebenaran terlihat dan diakui olehnya. Sikap Umar dalam ucapannya sangat jelas, “Perempuan itu benar dan Umar salah.” (HR. Ibnu Abdul Barr). Kala seseorang melakukan gugatan kepada Ali ra., dia berkata, “Kamu benar dan aku salah. Dan di atas tiap-tiap orang alim ada Dzat Yang Maha Alim.” Sekian banyak sikap membuktikan hal ini.
Terhadap sebagian masalah yang ganjil (kontroversial), mereka berdiskusi (munadharah). Sanggah menyanggah antara satu sahabat dengan sahabat yang lainnya di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah, “Aku melihat diri kami waktu itu memperbanyak inisiatif di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Sebagian mereka berangkat dari sebagian yang lain dalam rangka menuntut ilmu ataupun mencari jalur periwayatan yang nilainya tinggi seperti keberangkatan Jabir bin Abdullah. Diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya.
Sebagian mereka memberi dorongan kepada sebagian dan umat manusia yang lainnya untuk mendatangi “warisan kenabian”, ilmu maksudnya. Karena nabi tidak meninggalkan dinar dan dirham melainkan mewariskan ilmu. Abu Hurairah pergi ke pasar dan berkata, “Sesungguhnya warisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dibagi-bagikan di dalam masjid. Pergilah ke sana untuk mengambil bagian.”
Manusia segera berlarian menuju masjid lalu bergegas kembali danberkata, “Kami tidak menemukan sesuatu di masjid.” Kata Abu Hurairah, “Tidakkah kamu melihat seseorang?” Kata mereka, “Iya, kami melihat orang-orang berdiri shalat sambil membaca Al-Quran dan juga melihat orang-orang membahas halal dan haram.” Kata Abu Hurairah, “Bagaimana kamu ini, itulah warisan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Thabrani di kitab al-Ausath).
Bersambung.
Sumber: shofwatuna.org